Tomorrow Never Come
Ternyata aku memang mencintainya. Setiap malam aku memikirkan ini, dan sekarang baru aku merasa yakin kalau rasa ini memang hanya untuknya. Semakin aku mengenalnya, seakan aku tak bisa lepas lagi darinya. Michelle, aku sangat mengagumimu. Sosok yang begitu sederhana. Yah, alasan itulah yang selama ini membuatku tak berani meneruskan rasa ini. Aku, seorang pemilik bisnis komputer yang cukup terkenal, tak mungkin bisa jatuh cinta pada seorang gadis biasa seperti dia. Aku yang lulusan S2 sebuah PTN terkenal di Jakarta tak mungkin bersama gadis yang hanya lulusan SMA. Aku yang terus berprestasi sepanjang masa studiku hingga sekarang berkarir, tak mungkin berniat serius dengan anak seorang pemilik warung pinggir jalan seperti dia. 6 bulan lebih aku tetap pada pemikiranku itu. Sungguh, aku tak mungkin bersama dia. Apa kata dunia bila aku pacaran, dan akhirnya mengikat janji dengan gadis yang tak setara denganku?Dan aku yakin bisa menghilangkan rasa yang sebenarnya telah tumbuh sejak pertama bertemu dengannya, di warung milik ayahnya. Sampai hari ini tiba. Keyakinanku goyah. Yah, ternyata semua prediksiku salah. Aku tak bisa melupakannya, sedetik pun. Terlebih akhir-akhir ini. Entah apa yang membuatku begitu mengaguminya diantara gadis-gadis lainnya. Ada banyak pilihan buatku, gadis selevel, pintar, berkarir, dari keluarga yang disegani, tapi aku tak pernah bisa memilih. Tak ada satu gadispun yang sanggup menyita waktu dan pikiranku seperti Michelle. Aku akui setahun yang lalu aku pernah berniat serius dengan salah satu branch office managerku di kantor cabang daerah Surabaya. Dia pintar, disiplin, loyal, dan yang paling penting, dia juga berniat serius denganku. Tapi aku juga tak mengerti kenapa tiba-tiba saja perasaan itu hilang justru setelah kami semakin saling mengenal, dan akhirnya aku membiarkan dia dinikahi seorang staff perbankan rekanan bisnisku. Yap, istilahnya, aku jadi mak comblang untuk orang yang katanya aku sayangi. Aneh kan? Akhirnya setelah aku mengenal Michelle, aku tahu jawabannya. Aku hanya mengagumi saja, bukan mencintai. Dan aku merasa berbeda dengan Michelle. Walaupun sebelumnya ada banyak penyangkalan dan pemikiran rasional atas perasaanku padanya, kenyataannya, aku mengakui sekarang. Aku sedang jatuh cinta!
***
Saat itu aku melihatnya sedang membantu seorang nenek menyebrang di jalanan yang memang sangat ramai. Entah kenapa tiba-tiba saja aku menghentikan laju mobilku dan memutuskan mengikutinya. Ternyata dia lalu masuk di sebuah warung pinggir jalan tak jauh dari tempatku berdiri memandangnya. Pandanganku terus mengikutinya. Dia sibuk melayani pembeli. Dengan tangannya yang cekatan dia membersihkan meja, mengantar pesanan, menerima pembayaran dari pembeli, sesekali menyeka keringat yang menetes di dahinya. Tanpa sadar, hampir dua jam aku disana memandangnya. Dan hal itu berlanjut terus hingga satu minggu. Aku tetap berdiri disana, sampai pada hari ke delapan pengintaianku, aku memutuskan untuk makan di warung itu. Sebuah keputusan sulit karena sebelumnya aku tak pernah makan di pinggir jalan. Aku termasuk orang yang sangat berhati-hati dengan makanan. Tapi toh akhirnya aku masuk juga, dan mulai memilih makanan apa yang akan aku santap. Dia datang, menawarkan menu andalan warungnya. Aku mengikuti sarannya, es kelapa muda dan soto babat tapi tanpa nasi, karena aku tak biasa mengenyangkan diri di pagi hari. Dia berlalu, melayani pesananku dengan bantuan seorang lelaki paruh baya yang akhirnya aku kenal sebagai ayahnya. Saat dia datang lagi dengan pesananku, aku benar-benar tak mengerti apa yang membuatku nekat melakukan ini. Dia biasa saja, sekilas tak ada yang menarik dari wajahnya. Sampai saat aku melihatnya tersenyum pada ayahnya sewaktu mereka asyik bercanda. Akrab sekali. Warungnya memang masih sepi, karena mungkin memang masih terlalu pagi. Dan aku memang sengaja memilih waktu ini agar aku bisa menemukan jawaban atas kelakuan anehku seminggu ini. Akhirnya aku temukan. Kesahajaannya, semangatnya, rasa percaya dirinya, keramahannya, juga senyumnya. Aku terpesona pada dirinya. Hingga berbulan-bulan aku selalu sarapan di warung itu, berkenalan dengan ayahnya. Membicarakan obrolan-obrolan ringan seputar topik-topik hangat yang menjadi headline di surat kabar, hingga cerita soal keluarganya. Ternyata ayah Michelle open mind person, berwawasan, dan sangat bijak menyikapi suatu masalah. Aku tak pernah canggung dibuatnya. Dari obrolan biasa, hingga masalah serius menyangkut masa depanku aku bicarakan padanya. Tak jarang Michelle turut menyela saat dia tak sibuk melayani pembeli. Menanggapi omongan ayahnya yang kadang memang suka diselingi dengan canda. Aku seakan merasa begitu dekat dengan mereka, disamping perasaan lain yang aku rasakan semakin tumbuh subur pada Michelle. Tapi seperti apa yang aku ungkap sebelumnya, aku tak berani mengakui kalau ini adalah rasa cinta, hanya karena status sosial dan keadaan Michelle yang sangat sederhana. Tapi pagi ini, setelah semalaman aku berpikir keras, aku akan mengubahnya. Yah, aku sudah mantap pada pilihanku. Aku sudah tahu banyak tentang latar belakang Michelle. Studinya mandek bukan karena otak Michelle tak mampu, tapi karena dia mengalah untuk adik-adiknya. Tak meneruskan studi tak membuat Michelle berhenti belajar. Banyak yang dia tahu, termasuk masalah komputer. Rasa ingin tahunya sangat tinggi, membuat aku semakin tak bisa melepas pesonanya. Yah, hanya keadaan yang kurang menguntungkan baginya. Dan sekarang, aku ingin sekali membuatnya bahagia. Berhenti memikirkan nafkah untuk keluarganya. Karena aku yakin sanggup menafkahinya, lahir dan batin, termasuk menyekolahkan kedua adiknya. Aku semakin mantap dengan keputusan ini. Segera kupacu Soluna hijau metalikku dengan hati yang tak menentu. Kali ini aku berniat memarkirnya di depan warung ayah Michelle, agar dia yakin aku bisa mencukupi kebutuhan materinya. Selama ini aku memang tak mengenalkan diriku yang menjadi direktur utama perusahaan spare part komputer dengan banyak kantor cabang di seluruh Indonesia. Yang mereka tahu aku hanya seorang wiraswasta yang sedang meniti karir. Aku tak berniat membohongi mereka, hanya saja aku tertarik dengan ketulusan dan keramahan mereka pada setiap orang, tak perduli status sosial mereka. Dan itu menjadi satu bukti padaku, bahwa mereka, terlebih Michelle tak berorientasi pada status dan materi bila mengenal seseorang, berbeda dengan orang-orang yang selama ini berada di dekatku. Setelah tikungan itu aku akan segera sampai, tapi ups!!! Nyaris saja aku menabrak seorang nenek tua yang menyebrang tertatih. Untung aku cepat menguasai keadaan hingga mobilku bisa berhenti di pinggir jalan sebelum sempat menabrak pohon beringin besar di sisi jalan itu. Huff!! Aku menarik nafas lega. Aku keluar, hanya ingin mengetahui keadaaan nenek tua itu. Tapi kelihatannya dia baik-baik saja, hanya agak terkejut sedikit mungkin. Tapi sudah ada banyak orang yang datang dan menolongnya, termasuk Michelle. Dia segera memeluk nenek tua itu sebelum dia menjerit dengan kerasnya. Aku heran melihatnya. Nenek itu baik-baik saja, bahkan sekarang bisa berdiri tanpa bantuan Michelle. Tapi Michelle terus menatap ke arah mobilku sambil meneteskan air matanya. Lirih juga kudengar dia menyebut namaku. Lalu datang ayah Michelle, melihat keadaan dan menenangkan Michelle. Ada segulir air mata jatuh di pipinya. Aku tak mengerti. Segera saja kudekati Michelle, gadis yang ingin kunikahi itu. Aku tak tahan melihatnya menangis tersedu seperti ini. Tapi seakan dia tak melihatku, berlari mendekati mobilku. Ternyata ada banyak orang di sekeliling mobilku, menarik tubuh seorang lelaki muda yang bersimbah darah dari kursi depan mobilku. Aku heran, dan berjalan mendekat. Melihat Michelle yang masih terus menangis, juga ayahnya. Lalu aku melihat wajah itu, penuh darah, tapi aku masih bisa mengenalinya. Dia adalah aku�
Tidak ada komentar:
Posting Komentar